BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Menurut Chalid (2000 : 4) : Anggaran diartikan sebagai bentuk kongkrit pada
rencana kerja keuangan yang komprehensif untuk mengaitkan pembelanjaan atau
pengeluaran kepada pendapatan/penerimaan yang dinyatakan dengan uang untuk
mencapai tujuan serta target dari pada yang
direncanakan di dalam jangka waktu tertentu (satu tahun)
Dalam peraturan Menteri Dalam Negeri No 13 Tahun
2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pengertian Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah. Selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan
pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan
DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Sehubungan dengan aspek pelaksanaan pemerintah di
daerah, Chalid (2004:4) menyatakan pula bahwa : APBD adalah rencana pekerjaan keuangan yang dibuat
untuk jangka waktu tertentu dalam waktu mana legislatif memberikan kredit
kepada eksekutif untuk melakukan pembiayaan guna kebutuhan rumah tangga daerah
sesuai dengan rencana yang menjadi dasar penyusunan anggaran, dan yang
menunjukkan segala penghasilan untuk menutup pembiayaan itu.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka
terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
a.
Rencana
pekerjaan keuangan : yaitu rencana penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah
yang segala konkritnya guna menjalankan rencana kerja dari pemerintah daerah.
b.
Jangka waktu atau tahun anggaran : menurut
Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan Nomor 25 Tahun 1999, menyebutkan bahwa tahun
anggaran daerah adalah sama dengan tahun anggaran negara. Tahun anggaran daerah
mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan 12 Desember tahun berjalan.
c.
Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
adalah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran
tertentu. Struktur APBD merupakan salah satu kesatuan yang terdiri dari
pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan. APBD disusun dengan
pendekatan kinerja, dimana penganggaran pengeluaran didukung kepastian
tersedianya penerimaan dalam jumlahyang cukup. Pendapatan yang dianggarkan
dalam APBD terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber
pendapatan. Belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk
setiap jenis belanja.
B.
MAKSUD dan TUJUAN
Untuk mengetahui apa
itu belanja daerah dan klasifikasi belanja daerah yang terdapat di dalam APBD
guna menambah pengetahuan kami mengenai belanja daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN BELANJA DAERAH
Peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2002 tentang pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah pada pasal 1 (ayat 13) dan Keputusan Menteri
Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pada pasal (huruf q) menyebutkan bahwa belanja
daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran
tertentu yang menjadi beban daerah.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004,
belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang
nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Menurut Halim (2003), belanja daerah adalah pengeluaran yang
dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab
kepada masyarakat dan pemerintah diatasnya.
Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, belanja daerah adalah
semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi
beban daerah.
Menurut Sri Lesminingsih (Abdul Halim, 2001:199) bahwa pengeluaran
daerah adalah semua pengeluaran kas daerah selama periode tahun anggaran
bersangkutan yang mengurangi kekayaan pemerintah daerah. Sedangkan menurut
Abdul Halim (2002) yang mengemukakan bahwa Belanja daerah merupakan penurunan
dalam manfaat ekonomi selama periode akuntansi dalam bentuk arus kas keluar
atau deplesi asset, atau terjadinya utang yang mengakibatkan berkurangnya
ekuitas dana, selain yang berkaitan dengan distribusi kepada para peserta
ekiutas dana.
Kemudian menurut Indra Bastian dan
Gatot Soepriyanto (2002) yang mengemukakan bahwa Belanja daerah adalah
penurunan manfaat ekonomis masa depan atau jasa potensial selama periode
pelaporan dalam bentuk arus kas keluar, atau konsumsi aktiva/ ekuitas neto,
selain dari yang berhubungan dengan distribusi ke entitas ekonomi itu sendiri.
Dan menurut Permendagri No 59
Tahun 2007 tentang perubahan atas Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah diungkapkan pengertian belanja daerah yaitu belanja
daerah daerah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih.
Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
belanja daerah adalah semua pengeluaran pemerintah daerah pada satu periode
anggaran yang berupa arus aktiva keluar guna melaksanakan kewajiban, wewenang,
dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah pusat./7wg
B.
KLASIFIKASI BELANJA DAERAH
a.
Klasifikasi Menurut Ketentuan Undang-Undang di Bidang Keuangan Negara
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (2) Undang Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga (di tingkat pemerintah
pusat) dan rencana kerja dan anggaran SKPD (di tingkat pemerintah
daerah) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
Pendekatan prestasi kerja mensyaratkan bahwa kementerian negara/lembaga dan
SKPD harus diukur kinerjanya berdasarkan program/kegiatan yang telah
direncanakan. Oleh karena itu, agar dapat diukur kinerjanya, menurut Pasal 15
ayat (5) dan Pasal 20 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, ditetapkan bahwa Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR/DPRD) terinci sampai dengan unit
organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja.
Ketentuan tersebut di atas ditegaskan lagi dengan Pasal 14 dan 15
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan
bahwa di dalam dokumen pelaksanaan anggaran perlu diuraikan sasaran yang hendak
dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk
mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan.
Selanjutnya Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga juga mengatur tentang klasifikasi yang lebih detail
yang pada prinsipnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003.
b.
Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan
Menurut Paragraf 34 PSAP Nomor 02, ditetapkan bahwa belanja
diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi dan
fungsi. Rincian tersebut merupakan persyaratan minimal yang harus disajikan
oleh entitas pelaporan. Selanjutnya
dicontohkan pada Paragraf 39 PSAP 02 klasifikasi belanja menurut ekonomi (jenis
belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi Belanja Operasi, Belanja Modal dan
Belanja Lain-lain/Tak Terduga.
Belanja Operasi adalah belanja yang dikeluarkan dari Kas Umum Negara/Daerah
dalam rangka menyelenggarakan operasional pemerintah, sedangkan Belanja Modal
adalah belanja yang dikeluarkan dalam rangka membeli dan/atau mengadakan barang
modal. Belanja Operasi selanjutnya diklasifikasikan lagi menjadi Belanja
Pegawai, Belanja Barang, Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial dan Belanja
Lain-lain/Tak Terduga.
Di samping itu,
klasifikasi belanja menurut fungsi dibagi menjadi : pelayanan umum, pertahanan,
ketertiban dan ketentraman, ekonomi, perlindungan, lingkungan hidup, perumahan
dan pemukiman, kesehatan, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan dan
perlindungan sosial. Pengklasifikasian ini mengikuti pola Government Financial Statistics (GFS) yang diterbitkan oleh International
Monetary Fund (IMF).
c.
Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 27 Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menetapkan
klasifikasi belanja sebagai berikut:
1. Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan
kegiatan serta jenis belanja;
2. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan
organisasi pemerintahan daerah
3. Klasifikasi menurut fungsi terdiri dari :
(a) klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan untuk tujuan manajerial
pemerintahan daerah;
(b) klasifikasi berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara untuk tujuan
keselarasan dan keterpaduan dalam rangka pengelolaan keuangan negara.
d.
Klasifikasi Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Klasifikasi belanja
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tersebut di atas dijabarkan
lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu :
1.
Klasifikasi belanja
dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan/atau
kabupaten/kota yang terdiri dari belanja
urusan wajib dan belanja urusan pilihan.
2.
Klasifikasi belanja
menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang
mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Menurut klasifikasi ini, belanja terdiri
atas: pelayanan umum, ketertiban dan
ketentraman, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum
kesehatan, pariwisata dan budaya, pendidikan dan perlindungan sosial. Berbeda
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tidak memasukkan fungsi
“pertahanan” dan “agama” karena kedua
fungsi tersebut adalah urusan pemerintahan yang dilaksanakan sepenuhnya oleh
pemerintah pusat dan tidak didesentralisasikan.
3.
Klasifikasi menurut
kelompok belanja terdiri dari belanja langsung dan belanja tak langsung.
Pengklasifikasian belanja ini berdasarkan kriteria apakah suatu belanja mempunyai kaitan langsung dengan
program/kegiatan atau tidak. Belanja yang
berkaitan langsung dengan program/kegiatan (misalnya belanja honorarium, belanja
barang, belanja modal) diklasifikasikan sebagai belanja Buletin Teknis
Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah langsung, sedangkan belanja yang
tidak secara langsung dengan program/kegiatan (misalnya gaji dan tunjangan
pegawai bulanan, belanja bunga, donasi, belanja bantuan keuangan, belanja
hibah, dan sebagainya) diklasifikasikan
sebagai belanja tidak langsung.
e.
Klasifikasi Belanja Menurut Fungsi
Klasifikasi belanja
menurut fungsi digunakan sebagai dasar untuk penyusunan anggaran berbasis kinerja.
Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dalam
menggunakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, program dan kegiatan
kementerian negara/lembaga/SKPD harus diarahkan untuk mencapai hasil dan
keluaran yang telah ditetapkan sesuai dengan rencana kerja pemerintah. Salah
satu upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi
dalam pelaksanaan program dan kegiatan. Dengan demikian, antara kebijakan,
program, kegiatan dan sub kegiatan harus
merupakan suatu rangkaian yang mencerminkan adanya keutuhan konseptual.
Adapun hubungan antara
fungsi, program, kegiatan dan sub kegiatan adalah sebagai berikut:
1.
Fungsi : perwujudan
tugas kepemerintahan di bidang tertentu yang dilaksanakan dalam rangka mencapai
tujuan pembangunan nasional. Subfungsi merupakan penjabaran lebih lanjut dari
fungsi. Klasifikasi fungsi dibagi ke dalam 11 (sebelas) fungsi utama dan
dirinci ke dalam 79 (tujuh puluh sembilan) sub fungsi. Penggunaan fungsi/sub
fungsi disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing kementerian
negara/lembaga/SKPD.
2.
Program : penjabaran
kebijakan kementerian negara/lembaga/SKPD dalam bentuk upaya yang berisi satu
atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumber daya yang disediakan untuk
mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi yang dilaksanakan instansi atau
masyarakat dalam koordinasi kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Dengan demikian, rumusan program harus secara jelas menunjukkan
keterkaitan dengan kebijakan yang
mendasarinya dan memiliki sasaran kinerja yang jelas dan terukur untuk mendukung upaya pencapaian
tujuan kebijakan yang bersangkutan.
Program dilaksanakan berdasarkan kerangka acuan yang menjelaskan antara lain pendekatan dan
metodologi pelaksanaan, menguraikan secara ringkas berbagai kegiatan yang akan
dilaksanakan dalam rangka mendukung implementasi program yang bersangkutan,
indikator-indikator keberhasilan program, serta penanggungjawabnya.
3.
Kegiatan : bagian dari
program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa satuan kerja sebagai bagian
dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program, yang terdiri dari
sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya, baik yang berupa sumber daya
manusia, barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana maupun kombinasi
dari beberapa atau semua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan (input)
untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa.
4.
Sub kegiatan; bagian
dari kegiatan yang menunjang usaha pencapaian sasaran dan tujuan kegiatan
tersebut. Kegiatan dapat dirinci ke dalam 2 (dua) atau lebih subkegiatan,
karena kegiatan tersebut mempunyai dua atau lebih jenis dan satuan keluaran
yang berbeda satu sama lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sub
kegiatan yang satu dapat dipisahkan dengan sub kegiatan lainnya berdasarkan
perbedaan keluaran. Kegiatan/sub kegiatan harus dengan jelas menunjukkan
keterkaitannya dengan program yang memayungi, memiliki sasaran keluaran yang
jelas dan terukur, untuk mendukung upaya pencapaian sasaran program yang
bersangkutan.
f.
Klasifikasi Menurut Jenis Belanja
1.
Belanja Negara dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Sebagaimana diamanatkan
Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003, belanja negara dalam APBN digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan
pelaksanaan perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Jadi, dalam hal ini terdapat 2 (dua) jenis pengeluaran
pemerintah, yaitu belanja pemerintah dan
pengeluaran transfer.
Pengeluaran dalam
bentuk belanja untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan tersebut
menurut ketentuan peraturan perundangan-undangan diklasifikasikan menurut
organisasi, fungsi dan jenis belanja.
Khusus untuk keperluan pengendalian manajemen, klasifikasi yang mudah untuk dilakukan pengendalian sejak
perencanaan penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya adalah klasifikasi
menurut ekonomi atau jenis belanja, yaitu :
(a) Belanja Operasi : terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah dan bantuan sosial.
(b) Belanja Modal : terdiri dari belanja tanah, belanja peralatan dan
mesin, belanja gedung dan bangunan,
belanja jalan, irigasi dan jaringan dan
belanja aset tetap lainnya.
(c) Belanja Lain-lain/Tidak Terduga
(d) Transfer
Dalam menyusun LRA, sebagaimana diatur dalam PSAP Nomor 02, klasifikasi yang dicantumkan pada lembar muka
laporan keuangan adalah menurut jenis belanja.
2.
Belanja Daerah dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Untuk pemerintahan
daerah, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 yang kemudian dijabarkan dalam
Permendagri 13 Tahun 2006, belanja
diklasifikasikan berdasarkan jenis belanja sebagai belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak
langsung merupakan belanja yang
dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program
dan kegiatan. Kelompok belanja langsung
merupakan belanja yang dianggarkan terkait
secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Selanjutnya,
kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari :
(a) belanja pegawai;
(b) belanja bunga;
(c) belanja subsidi;
(d) belanja hibah;
(e) belanja bantuan sosial;
(f)
belanja bagi
basil;
(g) bantuan keuangan; dan
(h) belanja tidak terduga.
Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan dibagi menurut jenis belanja
yang terdiri dari :
(a) Belanja pegawai;
Belanja pegawai dalam
kelompok belanja langsung tersebut dimaksudkan
untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan
kegiatan pemerintahan daerah. Belanja
jenis ini antara lain untuk menampung honorarium panitia pengadaan dan administrasi
pembelian/pembangunan untuk memperoleh
setiap aset yang dianggarkan pada belanja modal sebagaimana dianggarkan
pada belanja pegawai dan/atau belanja barang dan jasa. Belanja barang dan jasa digunakan untuk
pengeluaran pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12
(dua belas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan
kegiatan pemerintahan daerah.
(b) Belanja barang dan jasa;
Belanja barang dan jasa
ini mencakup belanja barang pakai habis,
bahan/material, jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor,
cetak/penggandaan, sewa rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan
dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan atributnya,
pakaian kerja, pakaian khusus dan hari- hari tertentu, perjalanan dinas,
perjalanan dinas pindah tugas, dan pemulangan
pegawai
(c) Belanja modal
Belanja modal digunakan
untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan
untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung
dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan dan aset tetap lainnya. Nilai pembelian/pengadaan atau pembangunan aset
tetap berwujud yang dianggarkan dalam
belanja modal hanya sebesar harga beli/bangun aset.
Untuk memberikan pemahaman yang
sama, baik dalam rangka penyusunan
anggaran maupun dalam pelaporannya, maka berikut ini akan diuraikan jenis belanja dan contoh-contohnya.
(a) Belanja Operasi
Belanja Operasi terdiri dari:
1.) Belanja Pegawai
Belanja Pegawai adalah belanja kompensasi,
baik dalam bentuk uang maupun barang
yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberikan kepada pejabat negara, Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum
berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali
pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Contoh Belanja Pegawai
adalah gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial dan lain-lain
yang berhubungan dengan pegawai.
2.) Belanja Barang
Belanja Barang adalah
pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk
memproduksi barang dan jasa yang
dipasarkan maupun tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang
dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja
perjalanan. Belanja Barang dapat dibedakan menjadi Belanja Barang dan Jasa,
Belanja Pemeliharaan dan Belanja Perjalanan Dinas ;
1.
Belanja Barang dan Jasa
merupakan pengeluaran yang antara lain dilakukan untuk membiayai keperluan
kantor sehari-hari, pengadaan barang yang habis pakai seperti alat tulis
kantor, pengadaan/penggantian inventaris kantor, langganan daya dan jasa,
lain-lain pengeluaran untuk membiayai pekerjaan yang bersifat non-fisik dan
secara langsung menunjang tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, pengadaan
inventaris kantor yang nilainya tidak memenuhi syarat nilai kapitalisasi
minimum yang diatur oleh pemerintah pusat/daerah dan pengeluaran jasa non-fisik
seperti pengeluaran untuk biaya pelatihan dan penelitian.
Contoh:
Suatu instansi menetapkan kebijakan
akuntansi tentang batasan nilai minimal kapitalisasi (capitalization treshold) aset tetap sebesar Rp300.000. Instansi
tersebut merencanakan untuk mengganggarkan pembelian kalkulator 1 unit seharga
Rp280.000. Instansi A akan mengganggarkan pembelian kalkulator tersebut
pada APBN/APBD sebagai Belanja Barang
sebesar Rp280.000. Jika terjadi
pembelian kalkulator, pembelian tersebut akan dicatat sebagai Belanja Barang, dan tidak disajikan sebagai aset
dalam neraca, tetapi cukup dicatat dalam
buku inventaris.
2.
Belanja Pemeliharaan
adalah pengeluaran yang dimaksudkan untuk
mempertahankan aset tetap atau aset lainnya yang sudah ada ke dalam
kondisi normal tanpa memperhatikan besar kecilnya jumlah belanja. Belanja
Pemeliharaan meliputi antara lain pemeliharaan tanah, pemeliharaan gedung dan bangunan kantor, rumah dinas,
kendaraan bermotor dinas, perbaikan
peralatan dan sarana gedung, jalan, jaringan irigasi, peralatan mesin dan lain-lain sarana yang berhubungan
dengan penyelenggaraan pemerintahan.
Contoh:
Suatu instansi merencanakan untuk
mengalokasikan anggaran sebesar
Rp2.000.000 untuk biaya ganti oli sebanyak 10 mobil dinas. Instansi
tersebut akan mencantumkan belanja pemeliharaan pada APBN/APBD sebesar
Rp2.000.000. Terhadap realisasi pengeluaran belanja tersebut dicatat dan
disajikan sebagai Belanja Pemeliharaan, karena
pengeluaran untuk belanja pemeliharaan tersebut tidak memenuhi persyaratan kapitalisasi aset tetap yaitu
karena tidak mengakibatkan bertambahnya umur, manfaat, atau kapasitas.
3.
Belanja Perjalanan
Dinas merupakan pengeluaran yang dilakukan untuk membiayai perjalanan dinas
dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi dan
jabatan.
Contoh 1:
Suatu instansi merencanakan akan melakukan
perjalanan dinas keluar kota dalam rangka monitoring/pemantauan pelaksanaan
tugas dengan anggaran sebesar Rp4.000.000 dengan realisasi sebesar Rp3.900.000.
Rencana pengeluaran atas perjalanan dinas dianggarkan pada APBN/APBD sebagai
Belanja Perjalanan Dinas. Terhadap realisasinya disajikan pada LRA sebagai Belanja Perjalanan Dinas
sebesar Rp3.900.000.
Contoh 2:
Suatu instansi merencanakan untuk membeli
sejumlah barang habis pakai sebesar Rp9.500.000. Barang habis pakai tersebut
dibeli di Jakarta, sehingga membutuhkan perjalanan dinas yang dianggarkan
sebesar Rp500.000. Rencana pengeluaran
atas baranghabis pakai dianggarkan pada APBN/APBD sebagai Belanja Barang.
Demikian juga transaksi pembelian barang habis pakai dicatat dan disajikan pada
LRA sebagai Belanja Barang sebesar Rp9.500.000. Terhadap rencana biaya
perjalanan untuk perjalanan dinas sebesar Rp500.000 akan dicantumkan dalam
APBN/APBD sebagai Belanja Barang, sedangkan realisasinya disajikan pada LRA
sebagai Belanja Barang sebesar Rp500.000, dan menambah nilai pembelian barang
habis pakai sehingga nilai totalnya menjadi sebesar Rp10.000.000.
3.) Belanja Bunga
Belanja Bunga adalah
pengeluaran pemerintah untuk pembayaran bunga (interest) atas kewajiban penggunaan pokok utang (principal outstanding) yang dihitung
berdasarkan posisi pinjaman jangka pendek atau
jangka panjang.
Contoh:
Pada tahun 2006, suatu
instansi merencanakan membayar utang sebesar Rp11.000.000 yang terdiri dari
Rp10.000.000 untuk pembayaran pokok
pinjaman dan Rp1.000.000 untuk pembayaran bunga. Dalam APBN/APBD jumlah
pembayaran bunga sebesar Rp1.000.000 tersebut dicantumkan pada kelompok Belanja
Operasional subkelompok Belanja Bunga (above
the line), sedangkan rencana pembayaran pokok pinjaman sebesar Rp10.000.000
dicantumkan pada kelompok Transaksi Pengeluaran Pembiayaan (below the line).
Apabila ada pembayaran
sejumlah utang, maka harus dapat dirinci jumlah
pembayaran menurut pokok pinjaman dan jumlah bunga yang terutang.
Terhadap realisasi pembayaran pokok pinjaman akan disajikan pada LRA sebagai transaksi
pengeluaran pembiayaan sebesar Rp10.000.000, sedangkan realisasi pembayaran
bunga sebesar Rp1.000.000 disajikan pada LRA sebagai Belanja Operasional
subkelompok Belanja Bunga. Pada pemerintah pusat, pengeluaran anggaran untuk
pembayaran bunga utang dikelola pada Bagian Anggaran (BA) tersendiri, yaitu BA
061 (Cicilan Bunga Utang) yang merupakan bagian dari Bagian Anggaran Pembiayaan
dan Perhitungan. Sehingga, anggaran dan realisasi pembayaran bunga disajikan
sebagai Belanja Bunga baik pada LRA BA 061 maupun LRA Pemerintah Pusat.
4.) Belanja Subsidi
Subsidi yaitu alokasi
anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual,
mengekspor atau mengimpor barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup orang
banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau masyarakat.
Belanja ini antara lain digunakan untuk penyaluran subsidi kepada masyarakat
melalui BUMN/BUMD dan perusahaan swasta. Jadi, Belanja Subsidi adalah
pengeluaran pemerintah yang diberikan
kepada perusahaan/lembaga tertentu yang bertujuan untuk membantu
biaya produksi agar harga jual
produk/jasa yang dihasilkan dapat dijangkau oleh masyarakat.
Contoh:
Harga jual air yang
dihitung PDAM Tirtanadi Kota XYZ adalah berdasarkan harga produksi ditambah
margin keuntungan per m3 air, yaitu sebesar Rp1.000. Untuk membantu
masyarakat, Pemda Kota XYZ tersebut memutuskan untuk menganggarkan di APBD
Tahun Anggaran 2006 sebesar Rp500 per m3.
Dengan adanya
pengeluaran dari APBD, masyarakat akan membayar ke PDAM atas air minum yang
dikonsumsi sebesar Rp500 per m3. (Rp1.000 -/- Rp500).
Berdasarkan estimasi,
konsumsi air minum di kota tersebut untuk Tahun Anggaran 2006 adalah sebesar
3.000.000 m3. Sehingga total yang dianggarkan di APBD adalah sebesar
Rp1.500.000.000. Pengeluaran subsidi Pemda adalah berdasarkan konsumsi air
minum yang dibeli oleh masyarakat Kabupaten XYZ. Pada tahun 2006 air yang
terkonsumsi masyarakat adalah 2.700.000 m3.
Rencana pengeluaran
sebesar Rp1.500.000.000 kepada PDAM Tirtanadi
dicantumkan di APBD sebagai Belanja Subsidi, demikian juga transaksi
pembayaran Rp1.350.000.000 kepada PDAM Tirtanadi disajikan di LRA sebagai
Belanja Subsidi pada kelompok Belanja Operasional.
Pada pemerintah pusat,
pengeluaran anggaran untuk subsidi juga
dikelola pada BA tersendiri, yaitu BA 062 (Subsidi dan Transfer) yang
merupakan bagian dari Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan. Pengeluaran
untuk tujuan Subsidi dan Transfer pada pemerintah pusat digunakan untuk tujuan
yang sama dengan pengeluaran subsidi pada pemerintah daerah.
Contoh:
Pemerintah mengeluarkan belanja subsidi dan transfer yang dikelola pada BA
062 untuk tujuan memberikan subsidi harga bahan bakar minyak sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat. Harga jual
bahan bakar yang dihitung oleh PT
Pertamina (Persero) adalah berdasarkan harga produksi ditambah margin
keuntungan per liter, yaitu sebesar Rp2.300 dengan harga jual kepada masyarakat
sebesar Rp1.800 per liter. Untuk membantu daya beli masyarakat, pemerintah
memutuskan untuk menganggarkan Subsidi di APBN Tahun Anggaran 2006 sebesar Rp500 (Rp2.300 -/-
Rp1.800). Dengan adanya pengeluaran dari APBN sebesar Rp500 yang dituangkan
dalam DIPA BA 062 Subsidi dan Transfer, maka masyarakat hanya akan membayar
bahan bakar minyak yang dikonsumsi
sebesar Rp1.800 per liter (Rp2.300 -/- Rp500).
Diproyeksikan konsumsi bahan bakar minyak untuk Tahun Anggaran 2006
adalah sebesar 1.000.000 liter, sehingga total yang dianggarkan di APBN sebesar Rp500.000.000. Pada tahun 2006
realisasi konsumsi bahan bakar minyak oleh masyarakat adalah 800.000
liter. Pengeluaran subsidi oleh
pemerintah pusat adalah berdasarkan besarnya konsumsi bahan bakar oleh
masyarakat. Sehingga realisasi pengeluaran subsidi sebesar Rp400.000.000 akan
disajikan sebagai Belanja Subsidi baik pada LRA BA 062 maupun pada LRA
Pemerintah Pusat.
5.) Belanja Hibah
Hibah adalah
pengeluaran pemerintah dalam bentuk uang/barang atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah
lainnya, perusahaan daerah, masyarakat
dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak
wajib dan tidak mengikat serta tidak
secara terus menerus.
Contoh:
1.
Hibah dalam bentuk
uang
Dalam tahun anggaran
2006, suatu instansi merencanakan untuk
mengalokasi dana sebesar Rp1.000.000.000 kepada organisasi Buana
Lingkungan yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Pemberian dana tersebut
bukan merupakan kewajiban pemerintah, tidak terus menerus dan tidak mengikat. Rencana pengeluaran tersebut
harus dialokasikan oleh pemerintah sebagai
Belanja Hibah, demikian juga realisasi pembayaran uang sebesar Rp1.000.000.000 kepada organisasi Buana
Lingkungan dibukukan dan disajikan pada LRA sebagai Belanja Hibah.
2.
Hibah berbentuk
barang/jasa
Dalam tahun anggaran
2006, pemerintah merencanakan untuk memberikan hibah dalam bentuk 2 unit mobil
kepada Palang Merah Indonesia (PMI). Pemerintah merencanakan membeli kedua
mobil tersebut kemudian menyerahkannya ke PMI dan bukti kepemilikan mobil
tersebut diserahkan ke PMI. Rencana pembelian kedua mobil harus dialokasikan di
APBN/APBD sebagai Belanja Hibah,
demikian juga realisasi pembelian mobil tersebut dibukukan dan disajikan di LRA
sebagai Belanja Hibah. Jika 2 unit mobil
yang diserahkan kepada PMI tersebut berasal dari pembelian tahun yang lalu dan
telah disajikan di LRA Tahun Anggaran 2005 sebagai Belanja Modal dan di Neraca
per 31 Desember 2005 sebagai Aset Tetap, maka perlakuan akuntansi terhadap hibah
mobil tersebut di tahun 2006 adalah cukup dengan menghapuskan/mengurangi nilai
2 unit mobil tersebut dari neraca pemerintah. Rencana penyerahan (hibah) 2 unit
mobil tersebut tidak dianggarkan di APBN/APBD tahun anggaran 2006, begitu juga
dengan realisasinya tidak disajikan di LRA.
6.) Bantuan Sosial
Bantuan Sosial adalah
transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari
kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial dapat langsung diberikan
kepada anggota masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan termasuk di dalamnya
bantuan untuk lembaga non pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan. Jadi
Belanja Bantuan Sosial adalah pengeluaran pemerintah dalam bentuk uang/barang
atau jasa kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat, yang sifatnya tidak terus-menerus dan selektif.
Contoh:
1.
Pada tahun anggaran
2006, pemerintah merencanakan untuk memberikan bantuan sebesar Rp2.000.000.000
kepada para nelayan dengan maksud agar kehidupan nelayan tersebut lebih baik.
Bantuan yang diberikan kepada nelayan dimaksudkan untuk tidak dikembalikan lagi
kepada pemerintah. Rencana pemberian bantuan untuk nelayan sebesar
Rp2.000.000.000 tersebut dianggarkan di APBN/APBD sebagai belanja bantuan
sosial. Demikian juga realisasi
pembayaran dana tersebut kepada nelayan dibukukan dan disajikan sebagai Belanja
Bantuan Sosial.
2.
Pada tahun anggaran
2006, pemerintah merencanakan untuk memberikan bantuan sebesar Rp10.000.000.000
kepada satu kelompok nelayan dengan maksud agar kehidupan nelayan tersebut
lebih baik. Bantuan yang diberikan kepada nelayan diniatkan akan
dipungut/ditarik kembali oleh pemerintah apabila kegiatannya telah berhasil dan
selanjutnya akan digulirkan kembali kepada kelompok nelayan lainnya sebagai dana
bergulir.
Rencana pemberian
bantuan untuk nelayan di atas dicantumkan di APBN/APBD dan dikelompokkan pada
Pengeluaran Pembiayaan yaitu pengeluaran investasi jangka panjang.
Terhadap realisasi
penerimaan kembali pembiayaan juga dicatat dan disajikan sebagai Penerimaan
Pembiayaan - Investasi Jangka Panjang. Dengan demikian, dana bergulir atau
bantuan tersebut tidak dimasukkan sebagai Belanja Bantuan Sosial karena
pemerintah mempunyai niat untuk menarik kembali dana dan menggulirkannya
kembali kepada kelompok nelayan lainnya.
Pengeluaran dana
tersebut mengakibatkan timbulnya investasi jangka panjang yang bersifat non
permanen dan disajikan di neraca sebagai
investasi Jangka Panjang.
7.) Belanja Modal
1.
Kriteria Belanja
Modal
Belanja modal adalah
pengeluaran anggaran untuk perolehan aset
tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode
akuntansi. Untuk mengetahui apakah suatu belanja dapat dimasukkan sebagai
Belanja Modal atau tidak, maka perlu diketahui definisi aset tetap atau aset lainnya
dan kriteria kapitalisasi aset tetap. Aset tetap mempunyai
ciri-ciri/karakteristik sebagai berikut : berwujud, akan menambah aset
pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, nilainya relatif
material. Sedangkan ciri-ciri/karakteristik Aset Lainnya adalah : tidak
berwujud, akan menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari 1
tahun, nilainya relatif material. Dari
ciri-ciri/karakterisitik tersebut di atas, diharapkan entitas dapat menetapkan
kebijakan akuntansi mengenai batasan minimal nilai kapitalisasi suatu aset
tetap atau aset lainnya (treshold
capitalization), sehingga pejabat/aparat penyusun anggaran dan/atau
penyusun laporan keuangan pemerintah mempunyai pedoman dalam penetapan belanja
modal baik waktu penganggaran maupun pelaporan keuangan pemerintah.
Berdasarkan penjelasan
di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu
belanja dapat dikategorikan sebagai Belanja Modal jika:
(a) pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset
lainnya yang dengan demikian menambah aset pemerintah;
(b) pengeluaran tersebut melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau
aset lainnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah;
(c) perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual.
Contoh :
1.
Pemerintah menetapkan
batasan nilai minimal kapitalisasi aset tetap untuk Peralatan dan Mesin dan
Aset Tetap Lainnya adalah sebesar Rp300.000 per unit. Sementara untuk Gedung
dan Bangunan; dan Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah sebesar Rp10.000.000. Pada
tahun anggaran 2006, pemerintah merencanakan membeli 20 unit kalkulator dengan
harga Rp250.000/unit. Total rencana anggaran untuk pembelian 20 unit kalkulator
adalah Rp5.000.000. Dilihat dari jenis barangnya, kalkulator merupakan aset
berwujud dan mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan. Namun, karena
kalkulator tersebut harganya tidak material (nilai kalkulator per unit di bawah
batasan minimal kapitalisasi yang telah ditetapkan yaitu Rp 300.000 per unit
untuk peralatan dan mesin), maka
kalkulator tersebut tidak disajikan sebagai Aset Tetap di neraca. Oleh karena
itu, meskipun secara total nilai perolehan 20 unit kalkulator adalah sebesar
Rp5.000.000, anggaran pengeluaran untuk pembelian kalkulator di APBN/APBD tidak
diklasifikasikan sebagai Belanja Modal tetapi sebagai Belanja Barang.
Konsekuensinya, realisasi pembelian kalkulator dicatat dan disajikan pada LRA
sebagai Belanja Barang.
2.
Dalam tahun anggaran
2006, pemerintah merencanakan membeli 3 unit mobil ambulans yang akan
dihibahkan/diserahkan kepada Palang Merah Indonesia (PMI). Harga satuan mobil
adalah sebesar Rp150.000.000, sehingga total pembelian adalah sebesar
Rp450.000.000. Pengeluaran untuk pembelian 3 mobil ambulans tersebut meskipun
tidak dimaksudkan untuk dijual, tetapi aset tersebut tidak akan menambah aset
pemerintah karena diniatkan untuk diserahkan langsung kepada PMI. Oleh karena
itu, anggaran pengeluaran untuk perolehan 3 mobil ambulans tidak dicantumkan
sebagai Belanja Modal-Peralatan dan Mesin dalam
APBN/APBD, tetapi sebagai Belanja Hibah (Belanja Operasional). Demikian
juga realisasi pengeluarannya dicatat dan disajikan di LRA sebagai Belanja
Hibah.
2.
Konsep Nilai
Perolehan
Konsep nilai perolehan
sebenarnya tidak hanya berlaku pada aset tetap
saja, melainkan berlaku juga untuk barang persediaan. Belanja Modal
meliputi antara lain: belanja modal untuk perolehan tanah; gedung dan bangunan; peralatan dan
mesin; jalan, irigasi dan jaringan, aset tetap lainnya dan aset lainnya.
Komponen Belanja Modal
untuk perolehan aset tetap meliputi harga beli aset tetap ditambah semua biaya
lain yang dikeluarkan sampai aset tetap tersebut siap untuk digunakan, misalnya
biaya transportasi, biaya uji coba dan lain-lain. Demikian juga
pengeluaran untuk belanja perjalanan dan
jasa yang terkait dengan perolehan aset tetap atau aset lainnya, termasuk di
dalamnya biaya konsultan perencana, konsultan
pengawas dan pengembangan perangkat lunak (software), harus ditambahkan
pada nilai perolehan.
Komponen-komponen
tersebut harus dianggarkan dalam APBN/APBD sebagai Belanja Modal dan bukan
sebagai Belanja Operasional. Tentu harus diperhatikan nilai kewajaran dan
kepatutan dari biaya-biaya lain di luar
harga beli aset tetap tersebut.
Contoh :
Departemen Kesehatan/Dinas Kesehatan merencanakan membeli peralatan
kedokteran. Adapun komponen biaya untuk perolehan peralatan medis tersebut adalah sebagai berikut:
1. Harga beli alat medis Rp
150.000.000
2. Perjalanan dinas Rp
2.000.000
3. Transportasi alat medis Rp 5.000.000
4. Biaya uji coba Rp 4.000.000
Total biaya perolehan Rp
179.000.000
Harga perolehan
peralatan medis tersebut adalah sebesar Rp179.000.000 yang berasal dari harga
beli peralatan medis ditambah dengan semua biaya yang dikeluarkan sampai
peralatan medis tersebut siap untuk digunakan. Rencana pengeluaran untuk
perolehan peralatan medis (termasuk harga beli alat medis, perjalanan dinas,
ongkos/transportasi alat medis dan biaya uji coba) dicantumkan dalam APBN/APBD
sebagai Belanja Modal-Peralatan dan Mesin sebesar Rp179.000.000. Demikian juga
realisasi untuk perolehan alat medis dicatat dan disajikan di LRA sebagai
Belanja Modal-Peralatan dan Mesin sebesar Rp179.000.000.
Di samping belanja modal untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya, belanja untuk pengeluaran-pengeluaran sesudah
perolehan aset tetap atau aset lainnya
dapat juga dimasukkan sebagai Belanja Modal. Pengeluaran tersebut dapat dikategorikan sebagai Belanja
Modal jika memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
(a) Pengeluaran tersebut mengakibatkan bertambahnya masa manfaat, kapasitas,
kualitas dan volume aset yang telah dimiliki.
(b) Pengeluaran tersebut memenuhi batasan minimal nilai kapitalisasi aset tetap/aset lainnya.
Terkait dengan kriteria
pertama di atas, perlu diketahui tentang pengertian berikut ini:
(a) Pertambahan masa manfaat adalah bertambahnya umur ekonomis yang diharapkan
dari aset tetap yang sudah ada. Misalnya sebuah gedung semula diperkirakan
mempunyai umur ekonomis 10 tahun. Pada tahun ke-7 pemerintah melakukan renovasi
dengan harapan gedung tersebut masih dapat digunakan 8 tahun lagi. Dengan
adanya renovasi tersebut maka umur gedung berubah dari 10 tahun menjadi 15
tahun.
(b) Peningkatan kapasitas adalah bertambahnya kapasitas atau kemampuan aset
tetap yang sudah ada. Misalnya, sebuah generator listrik yang mempunyai output
200 KW dilakukan renovasi sehingga kapasitasnya meningkat menjadi 300 KW.
(c) Peningkatan kualitas aset adalah bertambahnya kualitas dari aset tetap yang sudah ada. Misalnya, jalan yang masih
berupa tanah ditingkatkan oleh
pemerintah menjadi jalan aspal.
(d) Pertambahan volume aset adalah bertambahnya jumlah atau satuan ukuran aset yang sudah ada, misalnya penambahan
luas bangunan suatu gedung dari 400 m2
menjadi 500 m2
Contoh 1:
Pemerintah merencanakan untuk menganggarkan
di APBN/APBD pengeluaran untuk perbaikan kantor dengan memperbaiki atapnya yang
sering bocor. Rencananya, atap kantor yang terbuat dari seng akan diganti
dengan atap yang lebih baik, yaitu menggunakan genteng keramik dengan menelan
biaya Rp20.000.000. Sebelum dialokasikan
anggaran untuk pengeluaran penggantian atap kantor perlu dilakukan analisis apakah
pengeluaran tersebut dimasukkan sebagai Belanja Modal atau Belanja Operasional.
Rencana pengeluaran untuk mengganti atap lama dengan atap baru dapat menambah
kualitas atau manfaat dari bangunan. Berarti kriteria pertama terpenuhi yaitu
pengeluaran tersebut mengakibatkan bertambahnya masa manfaat, kapasitas,
kualitas dan volume aset yang dimiliki. Demikian juga kriteria kedua, pengeluaran tersebut memenuhi
nilai minimal kapitalisasi untuk gedung
dan bangunan yang ditetapkan sebesar Rp10.000.000 Karena memenuhi kriteria
kapitalisasi aset tetap, pengeluaran tersebut harus dianggarkan di APBN/APBD sebagai Belanja
Modal-Gedung dan Bangunan sebesar Rp20.000.000. Konsekuensinya, realisasi
pengeluaran belanja tersebut dicatat dan disajikan pada LRA sebagai Belanja
Modal-Gedung dan Bangunan.
3.
Jaminan
Pemeliharaan
Sesuai dengan Peraturan
Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 (Perubahan
Keempat), pembayaran termin terakhir atas penyerahan pekerjaan yang sudah jadi
dari Pihak Ketiga, dapat dilakukan melalui dua (2) cara yaitu:
1.) Pembayaran dilakukan sebesar 95 % (sembilan puluh lima persen) dari nilai
kontrak, sedangkan yang 5 % (lima persen) merupakan retensi selama masa pemeliharaan.
2.) Pembayaran dilakukan sebesar 100 % (seratus persen) dari nilai kontrak dan penyedia barang/jasa harus
menyerahkan jaminan bank sebesar 5 %
(lima persen) dari nilai kontrak yang diterbitkan oleh Bank Umum atau oleh
perusahaan asuransi yang mempunyai program asuransi kerugian (surety bond) dan direasuransikan sesuai
dengan ketentuan Menteri Keuangan. Penahanan pembayaran senilai 5 (lima) persen
dari nilai kontrak seperti dimaksud dalam nomor 1 harus diakui sebagai utang
retensi, sedangkan jaminan bank untuk pemeliharaan harus diungkapkan dalam
Catatan atas Laporan Keuangan.
8.) Belanja Lain-lain/Tak Terduga
Menurut Paragraf 35
PSAP Nomor 02, istilah “Belanja Lain-lain digunakan oleh pemerintah pusat, sedangkan istilah
“Belanja Tak Terduga” digunakan oleh pemerintahan daerah. Belanja lain-lain/tak
terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa
dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana
sosial dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam
rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah.
Berdasarkan ketentuan
Pasal 3 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004, anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya mendesak
dan/atau tidak terduga, disediakan dalam bagian anggaran tersendiri, yang
selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah. Pada pemerintah pusat, anggaran
untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya mendesak dan/atau tidak terduga
dikelola pada BA tersendiri yaitu BA 069 (Belanja Lain-lain).
Menurut Pasal 48
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, Belanja Tak Terduga adalah belanja untuk
kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak
diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam dan bencana
sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan
penerimaan daerah tahun tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup.
Contoh:
Pada tahun anggaran 2006 Pemda XYZ merencanakan untuk mengalokasikan dana
sebesar Rp20.000.000 untuk penanggulangan bencana alam khususnya banjir.
Rencana pengeluaran sebesar Rp20.000.000 pada tahun 2006 tersebut dicantumkan
di APBD Pemda XYZ sebagai Belanja Tak Terduga. Demikian juga realisasi belanja
tersebut dicatat dan disajikan pada LRA sebagai Belanja Tak Terduga. Jika dari
hasil pengeluaran belanja tak terduga diperoleh aset tetap, maka aset tetap
tersebut dicatat dan disajikan di neraca Pemda XYZ.
9.) Transfer
Menurut PSAP Nomor 02,
pengeluaran ini disajikan pada kelompok
pengeluaran belanja (above the
line), tetapi pengeluaran transfer adalah bukan termasuk pengeluaran
belanja (expenditures). Definisi
transfer adalah penerimaan/pengeluaran
uang dari suatu entitas pelaporan dari/kepada entitas pelaporan lain, termasuk
dana perimbangan. Pada Paragraf 40 PSAP Nomor 02, definisi dari transfer keluar
adalah: “... pengeluaran uang dari
entitas pelaporan ke entitas pelaporan lain seperti pengeluaran dana perimbangan
oleh pemerintah pusat dan dana bagi hasil oleh pemerintah daerah.”
Menurut ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, ditetapkan bahwa pemerintah
pusat wajib mengalokasikan dana perimbangan kepada pemerintah daerah,
sekurang-kurangnya 25,50% dari penerimaan pendapatan dalam negeri. Pelaksanaan
dari ketentuan perundangan-undangan tentang dana perimbangan, menimbulkan
kewajiban pemerintah pusat untuk melakukan transfer dana ke pemerintah daerah.
Karena sifat transfer tersebut bukan merupakan beban belanja bagi pemerintah
pusat, maka dicatat sebagai transfer keluar (transfer out) dan bagi pemerintah daerah yang menerima disebut
transfer masuk (transfer in).
Selanjutnya, transfer masuk dari pemerintah pusat tersebut merupakan kewenangan
pemerintah daerah untuk menetapkan penggunaan dana tersebut, yang pada akhirnya
akan menjadi beban belanja bagi pemerintah daerah. Kemungkinan terjadi bahwa
sebagian dari transfer masuk yang diterima pemerintah provinsi/kabupaten/kota,
dari pemerintah pusat tersebut, ditransfer lagi kepada daerah bawahan
(kecamatan dan desa) sebagai dana bantuan dan dicatat sebagai transfer keluar
dan akan dipertanggungjawabkan oleh daerah bawahan penerima transfer
tersebut./7wg
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Belanja daerah adalah semua pengeluaran pemerintah daerah pada satu
periode anggaran yang berupa arus aktiva keluar guna melaksanakan kewajiban,
wewenang, dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah pusat.
Klasifikasi belanja daerah terdiri dari 6
, yaitu
a.
Klasifikasi Menurut Ketentuan Undang-Undang di Bidang
Keuangan Negara
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (2) Undang Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga (di tingkat pemerintah
pusat) dan rencana kerja dan anggaran SKPD (di tingkat pemerintah
daerah) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
Menurut Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, ditetapkan
bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) yang disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR/DPRD) terinci
sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis
belanja.
b.
Klasifikasi Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Menurut Paragraf 34 PSAP Nomor 02,
ditetapkan bahwa belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis
belanja), organisasi dan fungsi. Rincian tersebut merupakan persyaratan minimal
yang harus disajikan oleh entitas
pelaporan. Selanjutnya dicontohkan pada Paragraf 39 PSAP 02 klasifikasi
belanja menurut ekonomi (jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi Belanja
Operasi, Belanja Modal dan Belanja Lain-lain/Tak Terduga.
c.
Klasifikasi Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah
Pasal 27 Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menetapkan
klasifikasi belanja sebagai berikut:
1. Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan
kegiatan serta jenis belanja;
2. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan
organisasi pemerintahan daerah
3. Klasifikasi menurut fungsi terdiri dari :
(a) klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan untuk tujuan manajerial
pemerintahan daerah;
(b) klasifikasi berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara untuk tujuan
keselarasan dan keterpaduan dalam rangka pengelolaan keuangan negara.
d.
Klasifikasi Menurut
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Klasifikasi belanja
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tersebut di atas dijabarkan
lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu :
1.
Klasifikasi belanja
dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan/atau
kabupaten/kota yang terdiri dari belanja
urusan wajib dan belanja urusan pilihan.
2.
Klasifikasi belanja
menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang
mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Menurut klasifikasi ini, belanja terdiri
atas: pelayanan umum, ketertiban dan
ketentraman, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum
kesehatan, pariwisata dan budaya, pendidikan dan perlindungan sosial. Berbeda
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tidak memasukkan fungsi
“pertahanan” dan “agama” karena kedua
fungsi tersebut adalah urusan pemerintahan yang dilaksanakan sepenuhnya oleh
pemerintah pusat dan tidak didesentralisasikan.
3.
Klasifikasi menurut
kelompok belanja terdiri dari belanja langsung dan belanja tak langsung.
Pengklasifikasian belanja ini berdasarkan kriteria apakah suatu belanja mempunyai kaitan langsung dengan
program/kegiatan atau tidak. Belanja
yang berkaitan langsung dengan program/kegiatan (misalnya belanja honorarium,
belanja barang, belanja modal) diklasifikasikan sebagai belanja Buletin Teknis
Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah langsung, sedangkan belanja yang tidak
secara langsung dengan program/kegiatan (misalnya gaji dan tunjangan pegawai
bulanan, belanja bunga, donasi, belanja bantuan keuangan, belanja hibah, dan
sebagainya) diklasifikasikan sebagai
belanja tidak langsung.
e.
Klasifikasi Belanja
Menurut Fungsi
Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan sebagai dasar untuk penyusunan
anggaran berbasis kinerja. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya dalam menggunakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu,
program dan kegiatan kementerian negara/lembaga/SKPD harus diarahkan untuk
mencapai hasil dan keluaran yang telah ditetapkan sesuai dengan rencana kerja
pemerintah. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan
efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan program dan kegiatan. Dengan
demikian, antara kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan harus merupakan suatu rangkaian yang mencerminkan
adanya keutuhan konseptual.
f.
Klasifikasi Menurut
Jenis Belanja
1.
Belanja Negara dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Sebagaimana diamanatkan
Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003, belanja negara dalam APBN digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan
pelaksanaan perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Jadi, dalam hal ini terdapat 2 (dua) jenis pengeluaran
pemerintah, yaitu belanja pemerintah dan
pengeluaran transfer.
Pengeluaran dalam
bentuk belanja untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan tersebut
menurut ketentuan peraturan perundangan-undangan diklasifikasikan menurut
organisasi, fungsi dan jenis belanja.
Khusus untuk keperluan pengendalian manajemen, klasifikasi yang mudah untuk dilakukan pengendalian sejak
perencanaan penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya adalah
klasifikasi menurut ekonomi atau jenis belanja, yaitu :
(a) Belanja Operasi : terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah dan bantuan sosial.
(b) Belanja Modal : terdiri dari belanja tanah, belanja peralatan dan
mesin, belanja gedung dan bangunan,
belanja jalan, irigasi dan jaringan dan
belanja aset tetap lainnya.
(c) Belanja Lain-lain/Tidak Terduga
(d) Transfer
Dalam menyusun LRA, sebagaimana diatur dalam PSAP Nomor 02, klasifikasi yang dicantumkan pada lembar muka
laporan keuangan adalah menurut jenis belanja.
2.
Belanja Daerah dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Untuk pemerintahan
daerah, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 yang kemudian dijabarkan dalam
Permendagri 13 Tahun 2006, belanja
diklasifikasikan berdasarkan jenis belanja sebagai belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak
langsung merupakan belanja yang
dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program
dan kegiatan. Kelompok belanja langsung
merupakan belanja yang dianggarkan terkait
secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Selanjutnya,
kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari :
(a) belanja pegawai;
(b) belanja bunga;
(c) belanja subsidi;
(d) belanja hibah;
(e) belanja bantuan sosial;
(f)
belanja bagi
basil;
(g) bantuan keuangan; dan
(h) belanja tidak terduga.
Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan dibagi menurut jenis belanja
yang terdiri dari :
(a) Belanja pegawai;
(b) Belanja barang dan jasa;
(c) Belanja modal
DAFTAR PUSTAKA
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=12&cad=rja&ved=0CDEQFjABOAo&url=http%3A%2F%2Frepository.unhas.ac.id%2Fbitstream%2Fhandle%2F123456789%2F1938%2FBab%2520I-V.docx%3Fsequence%3D1&ei=za98UfKnEsWs4AOyhIHABw&usg=AFQjCNFuH1VofU3iZBjIfWTlbJ882HmGHg&sig2=0eiQfOlFrYV22Ji_zOqV-Q&bvm=bv.45645796,d.dmg
http://wilytjeme.blogspot.com/2012/10/klasifikasi-belanja-daerah_2774.html./7wg