Sabtu, 25 Mei 2013

BELANJA DAERAH



BAB I
PENDAHULUAN

A.        LATAR BELAKANG
Menurut Chalid (2000 : 4) : Anggaran diartikan sebagai bentuk kongkrit pada rencana kerja keuangan yang komprehensif untuk mengaitkan pembelanjaan atau pengeluaran kepada pendapatan/penerimaan yang dinyatakan dengan uang untuk mencapai tujuan serta target dari pada yang direncanakan di dalam jangka waktu tertentu (satu tahun)
Dalam peraturan Menteri Dalam Negeri No 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Sehubungan dengan aspek pelaksanaan pemerintah di daerah, Chalid (2004:4) menyatakan pula bahwa : APBD adalah rencana pekerjaan keuangan yang dibuat untuk jangka waktu tertentu dalam waktu mana legislatif memberikan kredit kepada eksekutif untuk melakukan pembiayaan guna kebutuhan rumah tangga daerah sesuai dengan rencana yang menjadi dasar penyusunan anggaran, dan yang menunjukkan segala penghasilan untuk menutup pembiayaan itu.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
a.          Rencana pekerjaan keuangan : yaitu rencana penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah yang segala konkritnya guna menjalankan rencana kerja dari pemerintah daerah.
b.         Jangka waktu atau tahun anggaran : menurut Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan Nomor 25 Tahun 1999, menyebutkan bahwa tahun anggaran daerah adalah sama dengan tahun anggaran negara. Tahun anggaran daerah mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan 12 Desember tahun berjalan.
c.         Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu. Struktur APBD merupakan salah satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan. APBD disusun dengan pendekatan kinerja, dimana penganggaran pengeluaran didukung kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlahyang cukup. Pendapatan yang dianggarkan dalam APBD terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan. Belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja.

B.        MAKSUD dan TUJUAN
Untuk mengetahui apa itu belanja daerah dan klasifikasi belanja daerah yang terdapat di dalam APBD guna menambah pengetahuan kami mengenai belanja daerah.



BAB II
PEMBAHASAN

A.        PENGERTIAN BELANJA DAERAH
Peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2002 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah pada pasal 1 (ayat 13) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pada pasal (huruf q) menyebutkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Menurut Halim (2003), belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah diatasnya.
Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.
Menurut Sri Lesminingsih (Abdul Halim, 2001:199) bahwa pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran kas daerah selama periode tahun anggaran bersangkutan yang mengurangi kekayaan pemerintah daerah. Sedangkan menurut Abdul Halim (2002) yang mengemukakan bahwa Belanja daerah merupakan penurunan dalam manfaat ekonomi selama periode akuntansi dalam bentuk arus kas keluar atau deplesi asset, atau terjadinya utang yang mengakibatkan berkurangnya ekuitas dana, selain yang berkaitan dengan distribusi kepada para peserta ekiutas dana.
Kemudian menurut Indra Bastian dan Gatot Soepriyanto (2002) yang mengemukakan bahwa Belanja daerah adalah penurunan manfaat ekonomis masa depan atau jasa potensial selama periode pelaporan dalam bentuk arus kas keluar, atau konsumsi aktiva/ ekuitas neto, selain dari yang berhubungan dengan distribusi ke entitas ekonomi itu sendiri.
Dan menurut Permendagri No 59 Tahun 2007 tentang perubahan atas Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah diungkapkan pengertian belanja daerah yaitu belanja daerah daerah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran pemerintah daerah pada satu periode anggaran yang berupa arus aktiva keluar guna melaksanakan kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah pusat./7wg

B.        KLASIFIKASI BELANJA DAERAH
a.         Klasifikasi Menurut Ketentuan Undang-Undang di Bidang Keuangan  Negara
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (2) Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa  rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga (di tingkat pemerintah  pusat) dan rencana kerja dan anggaran SKPD (di tingkat pemerintah daerah) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
Pendekatan prestasi kerja mensyaratkan bahwa kementerian negara/lembaga dan SKPD harus diukur kinerjanya berdasarkan program/kegiatan yang telah direncanakan. Oleh karena itu, agar dapat diukur kinerjanya, menurut Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 20 ayat (5)  Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, ditetapkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR/DPRD) terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. 
Ketentuan tersebut di atas ditegaskan lagi dengan Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa di dalam dokumen pelaksanaan anggaran perlu diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga juga mengatur tentang klasifikasi yang lebih detail yang pada prinsipnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003.

b.         Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Menurut Paragraf 34 PSAP Nomor 02, ditetapkan bahwa belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi dan fungsi. Rincian tersebut merupakan persyaratan minimal yang harus disajikan oleh entitas  pelaporan. Selanjutnya dicontohkan pada Paragraf 39 PSAP 02 klasifikasi belanja menurut ekonomi (jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi Belanja Operasi, Belanja Modal dan Belanja Lain-lain/Tak Terduga.
Belanja Operasi adalah belanja yang dikeluarkan dari Kas Umum Negara/Daerah dalam rangka menyelenggarakan operasional pemerintah, sedangkan Belanja Modal adalah belanja yang dikeluarkan dalam rangka membeli dan/atau mengadakan barang modal. Belanja Operasi selanjutnya diklasifikasikan lagi menjadi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial dan Belanja Lain-lain/Tak Terduga.
Di samping itu, klasifikasi belanja menurut fungsi dibagi menjadi : pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan ketentraman, ekonomi, perlindungan, lingkungan hidup, perumahan dan pemukiman, kesehatan, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan dan perlindungan sosial. Pengklasifikasian ini mengikuti pola Government Financial Statistics (GFS) yang diterbitkan oleh International Monetary Fund (IMF). 

c.         Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menetapkan  klasifikasi belanja sebagai berikut: 
1.    Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan serta jenis belanja;
2.    Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah
3.    Klasifikasi menurut fungsi terdiri dari :
(a)       klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan untuk tujuan manajerial pemerintahan daerah;
(b)       klasifikasi berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan dalam rangka pengelolaan keuangan negara. 

d.         Klasifikasi Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006  tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Klasifikasi belanja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor  58 Tahun 2005 tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri  Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu :
1.         Klasifikasi belanja dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang  menjadi kewenangan provinsi dan/atau kabupaten/kota yang terdiri dari belanja  urusan wajib dan belanja urusan pilihan. 
2.         Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan  keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang mengacu pada Peraturan  Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.  Menurut klasifikasi ini, belanja terdiri atas: pelayanan umum, ketertiban dan  ketentraman, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum kesehatan, pariwisata dan budaya, pendidikan dan perlindungan sosial. Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Permendagri  Nomor 13 Tahun 2006 tidak memasukkan fungsi “pertahanan” dan “agama”  karena kedua fungsi tersebut adalah urusan pemerintahan yang dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan tidak didesentralisasikan. 
3.         Klasifikasi menurut kelompok belanja terdiri dari belanja langsung dan belanja tak langsung. Pengklasifikasian belanja ini berdasarkan kriteria apakah suatu  belanja mempunyai kaitan langsung dengan program/kegiatan atau tidak.  Belanja yang berkaitan langsung dengan program/kegiatan (misalnya belanja honorarium, belanja barang, belanja modal) diklasifikasikan sebagai belanja Buletin Teknis Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah langsung, sedangkan belanja yang tidak secara langsung dengan program/kegiatan (misalnya gaji dan tunjangan pegawai bulanan, belanja bunga, donasi, belanja bantuan keuangan, belanja hibah, dan sebagainya)  diklasifikasikan sebagai belanja tidak langsung. 

e.         Klasifikasi Belanja Menurut Fungsi
Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan sebagai dasar untuk penyusunan anggaran berbasis kinerja. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dalam menggunakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, program dan kegiatan kementerian negara/lembaga/SKPD harus diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah ditetapkan sesuai dengan rencana kerja pemerintah. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan program dan kegiatan. Dengan demikian, antara kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan harus  merupakan suatu rangkaian yang mencerminkan adanya keutuhan konseptual.
Adapun hubungan antara fungsi, program, kegiatan dan sub kegiatan adalah  sebagai berikut: 
1.         Fungsi : perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Subfungsi merupakan penjabaran lebih lanjut dari fungsi. Klasifikasi fungsi dibagi ke dalam 11 (sebelas) fungsi utama dan dirinci ke dalam 79 (tujuh puluh sembilan) sub fungsi. Penggunaan fungsi/sub fungsi disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing kementerian negara/lembaga/SKPD.  
2.         Program : penjabaran kebijakan kementerian negara/lembaga/SKPD dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumber daya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi yang dilaksanakan instansi atau masyarakat dalam koordinasi kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Dengan demikian, rumusan program harus secara jelas menunjukkan keterkaitan   dengan kebijakan yang mendasarinya dan memiliki sasaran kinerja yang jelas   dan terukur untuk mendukung upaya pencapaian tujuan kebijakan yang   bersangkutan. Program dilaksanakan berdasarkan kerangka acuan yang   menjelaskan antara lain pendekatan dan metodologi pelaksanaan, menguraikan secara ringkas berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan dalam rangka mendukung implementasi program yang bersangkutan, indikator-indikator keberhasilan program, serta penanggungjawabnya.
3.         Kegiatan : bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program, yang terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya, baik yang berupa sumber daya manusia, barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana maupun kombinasi dari beberapa atau semua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa.
4.         Sub kegiatan; bagian dari kegiatan yang menunjang usaha pencapaian sasaran dan tujuan kegiatan tersebut. Kegiatan dapat dirinci ke dalam 2 (dua) atau lebih subkegiatan, karena kegiatan tersebut mempunyai dua atau lebih jenis dan satuan keluaran yang berbeda satu sama lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sub kegiatan yang satu dapat dipisahkan dengan sub kegiatan lainnya berdasarkan perbedaan keluaran. Kegiatan/sub kegiatan harus dengan jelas menunjukkan keterkaitannya dengan program yang memayungi, memiliki sasaran keluaran yang jelas dan terukur, untuk mendukung upaya pencapaian sasaran program yang bersangkutan. 

f.          Klasifikasi Menurut Jenis Belanja
1.         Belanja Negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)  
Sebagaimana diamanatkan Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17  Tahun 2003, belanja negara dalam APBN digunakan untuk keperluan  penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan  keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Jadi, dalam hal ini  terdapat 2 (dua) jenis pengeluaran pemerintah, yaitu belanja pemerintah dan  pengeluaran transfer.
Pengeluaran dalam bentuk belanja untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan tersebut menurut ketentuan peraturan perundangan-undangan diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi dan jenis  belanja. Khusus untuk keperluan pengendalian manajemen, klasifikasi yang  mudah untuk dilakukan pengendalian sejak perencanaan penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya adalah klasifikasi menurut ekonomi atau jenis belanja, yaitu :
(a)       Belanja Operasi : terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, bunga,  subsidi, hibah dan bantuan sosial. 
(b)       Belanja Modal : terdiri dari belanja tanah, belanja peralatan dan mesin,  belanja gedung dan bangunan, belanja jalan, irigasi dan jaringan dan  belanja aset tetap lainnya. 
(c)       Belanja Lain-lain/Tidak Terduga  
(d)       Transfer 
Dalam menyusun LRA, sebagaimana diatur dalam PSAP Nomor 02,  klasifikasi yang dicantumkan pada lembar muka laporan keuangan adalah menurut jenis belanja. 

2.         Belanja Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 
Untuk pemerintahan daerah, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58  Tahun 2005 yang kemudian dijabarkan dalam Permendagri 13 Tahun 2006,  belanja diklasifikasikan berdasarkan jenis belanja sebagai belanja tidak langsung  dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang  dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan  kegiatan. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait  secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Selanjutnya, kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja  yang terdiri dari : 
(a)       belanja pegawai;  
(b)       belanja bunga;  
(c)       belanja subsidi;  
(d)       belanja hibah;  
(e)       belanja bantuan sosial;  
(f)        belanja bagi basil;  
(g)       bantuan keuangan; dan  
(h)       belanja tidak terduga.  
Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari :  
(a)       Belanja pegawai;  
Belanja pegawai dalam kelompok belanja langsung tersebut dimaksudkan  untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan  pemerintahan daerah. Belanja jenis ini antara lain untuk menampung honorarium  panitia pengadaan dan administrasi pembelian/pembangunan untuk memperoleh  setiap aset yang dianggarkan pada belanja modal sebagaimana dianggarkan pada belanja pegawai dan/atau belanja barang dan jasa.  Belanja barang dan jasa digunakan untuk pengeluaran pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (dua belas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan  pemerintahan daerah.
(b)       Belanja barang dan jasa;
Belanja barang dan jasa ini mencakup belanja barang pakai  habis, bahan/material, jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/penggandaan, sewa rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana  mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari- hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah tugas, dan pemulangan  pegawai
(c)       Belanja modal
Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka  pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai  nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan  pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan dan aset tetap lainnya. Nilai  pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang dianggarkan  dalam belanja modal hanya sebesar harga beli/bangun aset. 
Untuk memberikan pemahaman  yang sama, baik dalam rangka  penyusunan anggaran maupun dalam pelaporannya, maka berikut ini akan  diuraikan jenis belanja dan contoh-contohnya.
(a)       Belanja Operasi
Belanja Operasi terdiri dari:
1.)       Belanja Pegawai 
Belanja Pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang  maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan  yang diberikan kepada pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Contoh Belanja Pegawai adalah gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial dan lain-lain yang berhubungan dengan pegawai. 

2.)       Belanja Barang 
Belanja Barang adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang  dipasarkan maupun tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja Barang dapat dibedakan menjadi Belanja Barang dan Jasa, Belanja Pemeliharaan dan Belanja Perjalanan Dinas ;
1.         Belanja Barang dan Jasa merupakan pengeluaran yang antara lain dilakukan untuk membiayai keperluan kantor sehari-hari, pengadaan barang yang habis pakai seperti alat tulis kantor, pengadaan/penggantian inventaris kantor, langganan daya dan jasa, lain-lain pengeluaran untuk membiayai pekerjaan yang bersifat non-fisik dan secara langsung menunjang tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, pengadaan inventaris kantor yang nilainya tidak memenuhi syarat nilai kapitalisasi minimum yang diatur oleh pemerintah pusat/daerah dan pengeluaran jasa non-fisik seperti pengeluaran untuk biaya pelatihan dan penelitian. 
Contoh:
Suatu instansi menetapkan kebijakan akuntansi tentang batasan nilai minimal kapitalisasi (capitalization treshold) aset tetap sebesar Rp300.000. Instansi tersebut merencanakan untuk mengganggarkan pembelian kalkulator 1 unit seharga Rp280.000. Instansi A akan mengganggarkan pembelian kalkulator tersebut pada  APBN/APBD sebagai Belanja Barang sebesar Rp280.000. Jika terjadi  pembelian kalkulator, pembelian tersebut akan dicatat sebagai Belanja  Barang, dan tidak disajikan sebagai aset dalam neraca, tetapi cukup dicatat  dalam buku inventaris.
2.         Belanja Pemeliharaan adalah pengeluaran yang dimaksudkan untuk  mempertahankan aset tetap atau aset lainnya yang sudah ada ke dalam kondisi normal tanpa memperhatikan besar kecilnya jumlah belanja. Belanja Pemeliharaan meliputi antara lain pemeliharaan tanah, pemeliharaan  gedung dan bangunan kantor, rumah dinas, kendaraan bermotor dinas,  perbaikan peralatan dan sarana gedung, jalan, jaringan irigasi, peralatan  mesin dan lain-lain sarana yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan.
Contoh:  
Suatu instansi merencanakan untuk mengalokasikan anggaran sebesar  Rp2.000.000 untuk biaya ganti oli sebanyak 10 mobil dinas. Instansi tersebut akan mencantumkan belanja pemeliharaan pada APBN/APBD sebesar Rp2.000.000. Terhadap realisasi pengeluaran belanja tersebut dicatat dan disajikan sebagai Belanja Pemeliharaan, karena  pengeluaran untuk belanja pemeliharaan tersebut tidak memenuhi  persyaratan kapitalisasi aset tetap yaitu karena tidak mengakibatkan bertambahnya umur, manfaat, atau kapasitas. 
3.         Belanja Perjalanan Dinas merupakan pengeluaran yang dilakukan untuk membiayai perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi dan  jabatan.
Contoh 1: 
Suatu instansi merencanakan akan melakukan perjalanan dinas keluar kota dalam rangka monitoring/pemantauan pelaksanaan tugas dengan anggaran sebesar Rp4.000.000 dengan realisasi sebesar Rp3.900.000. Rencana pengeluaran atas perjalanan dinas dianggarkan pada APBN/APBD sebagai Belanja Perjalanan Dinas. Terhadap realisasinya disajikan  pada LRA sebagai Belanja Perjalanan Dinas sebesar Rp3.900.000.
Contoh 2:  
Suatu instansi merencanakan untuk membeli sejumlah barang habis pakai sebesar Rp9.500.000. Barang habis pakai tersebut dibeli di Jakarta, sehingga membutuhkan perjalanan dinas yang dianggarkan sebesar  Rp500.000. Rencana pengeluaran atas baranghabis pakai dianggarkan pada APBN/APBD sebagai Belanja Barang. Demikian juga transaksi pembelian barang habis pakai dicatat dan disajikan pada LRA sebagai Belanja Barang sebesar Rp9.500.000. Terhadap rencana biaya perjalanan untuk perjalanan dinas sebesar Rp500.000 akan dicantumkan dalam APBN/APBD sebagai Belanja Barang, sedangkan realisasinya disajikan pada LRA sebagai Belanja Barang sebesar Rp500.000, dan menambah nilai pembelian barang habis pakai sehingga nilai totalnya menjadi sebesar Rp10.000.000. 

3.)       Belanja Bunga
Belanja Bunga adalah pengeluaran pemerintah untuk pembayaran bunga (interest) atas kewajiban penggunaan pokok utang (principal outstanding) yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman jangka pendek atau  jangka panjang.
Contoh: 
Pada tahun 2006, suatu instansi merencanakan membayar utang sebesar Rp11.000.000 yang terdiri dari Rp10.000.000 untuk pembayaran pokok  pinjaman dan Rp1.000.000 untuk pembayaran bunga. Dalam APBN/APBD jumlah pembayaran bunga sebesar Rp1.000.000 tersebut dicantumkan pada kelompok Belanja Operasional subkelompok Belanja Bunga (above the line), sedangkan rencana pembayaran pokok pinjaman sebesar Rp10.000.000 dicantumkan pada kelompok Transaksi Pengeluaran Pembiayaan (below the line). 
Apabila ada pembayaran sejumlah utang, maka harus dapat dirinci jumlah  pembayaran menurut pokok pinjaman dan jumlah bunga yang terutang. Terhadap realisasi pembayaran pokok pinjaman akan disajikan pada LRA sebagai transaksi pengeluaran pembiayaan sebesar Rp10.000.000, sedangkan realisasi pembayaran bunga sebesar Rp1.000.000 disajikan pada LRA sebagai Belanja Operasional subkelompok Belanja Bunga. Pada pemerintah pusat, pengeluaran anggaran untuk pembayaran bunga utang dikelola pada Bagian Anggaran (BA) tersendiri, yaitu BA 061 (Cicilan Bunga Utang) yang merupakan bagian dari Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan. Sehingga, anggaran dan realisasi pembayaran bunga disajikan sebagai Belanja Bunga baik pada LRA BA 061 maupun LRA  Pemerintah Pusat.  

4.)       Belanja Subsidi 
Subsidi yaitu alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor atau mengimpor barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau masyarakat. Belanja ini antara lain digunakan untuk penyaluran subsidi kepada masyarakat melalui BUMN/BUMD dan perusahaan swasta. Jadi, Belanja Subsidi adalah pengeluaran pemerintah yang diberikan  kepada perusahaan/lembaga tertentu yang bertujuan untuk membantu biaya  produksi agar harga jual produk/jasa yang dihasilkan dapat dijangkau oleh masyarakat.
Contoh:
Harga jual air yang dihitung PDAM Tirtanadi Kota XYZ adalah berdasarkan harga produksi ditambah margin keuntungan per m3 air, yaitu sebesar Rp1.000. Untuk membantu masyarakat, Pemda Kota XYZ tersebut memutuskan untuk menganggarkan di APBD Tahun Anggaran 2006 sebesar Rp500 per m3.
Dengan adanya pengeluaran dari APBD, masyarakat akan membayar ke PDAM atas air minum yang dikonsumsi sebesar Rp500 per m3. (Rp1.000 -/-  Rp500).
Berdasarkan estimasi, konsumsi air minum di kota tersebut untuk Tahun Anggaran 2006 adalah sebesar 3.000.000 m3. Sehingga total yang dianggarkan di APBD adalah sebesar Rp1.500.000.000. Pengeluaran subsidi Pemda adalah berdasarkan konsumsi air minum yang dibeli oleh masyarakat Kabupaten XYZ. Pada tahun 2006 air yang terkonsumsi masyarakat adalah 2.700.000 m3.
Rencana pengeluaran sebesar Rp1.500.000.000 kepada PDAM Tirtanadi  dicantumkan di APBD sebagai Belanja Subsidi, demikian juga transaksi pembayaran Rp1.350.000.000 kepada PDAM Tirtanadi disajikan di LRA sebagai Belanja Subsidi pada kelompok Belanja Operasional. 
Pada pemerintah pusat, pengeluaran anggaran untuk subsidi juga  dikelola pada BA tersendiri, yaitu BA 062 (Subsidi dan Transfer) yang merupakan bagian dari Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan. Pengeluaran untuk tujuan Subsidi dan Transfer pada pemerintah pusat digunakan untuk tujuan yang sama dengan pengeluaran subsidi pada pemerintah daerah.
Contoh:  
Pemerintah mengeluarkan belanja subsidi dan transfer yang dikelola pada BA 062 untuk tujuan memberikan subsidi harga bahan bakar minyak sehingga  dapat dijangkau oleh masyarakat. Harga jual bahan bakar yang dihitung oleh  PT Pertamina (Persero) adalah berdasarkan harga produksi ditambah margin keuntungan per liter, yaitu sebesar Rp2.300 dengan harga jual kepada masyarakat sebesar Rp1.800 per liter. Untuk membantu daya beli masyarakat, pemerintah memutuskan untuk menganggarkan Subsidi di APBN Tahun  Anggaran 2006 sebesar Rp500 (Rp2.300 -/- Rp1.800). Dengan adanya pengeluaran dari APBN sebesar Rp500 yang dituangkan dalam DIPA BA 062 Subsidi dan Transfer, maka masyarakat hanya akan membayar bahan bakar  minyak yang dikonsumsi sebesar Rp1.800 per liter (Rp2.300 -/- Rp500).  Diproyeksikan konsumsi bahan bakar minyak untuk Tahun Anggaran 2006 adalah sebesar 1.000.000 liter, sehingga total yang dianggarkan di APBN  sebesar Rp500.000.000. Pada tahun 2006 realisasi konsumsi bahan bakar minyak oleh masyarakat adalah 800.000 liter.  Pengeluaran subsidi oleh pemerintah pusat adalah berdasarkan besarnya konsumsi bahan bakar oleh masyarakat. Sehingga realisasi pengeluaran subsidi sebesar Rp400.000.000 akan disajikan sebagai Belanja Subsidi baik pada LRA BA 062 maupun pada LRA Pemerintah Pusat. 

5.)       Belanja Hibah  
Hibah adalah pengeluaran pemerintah dalam bentuk uang/barang atau  jasa kepada pemerintah atau pemerintah lainnya, perusahaan daerah,  masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah  ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat serta tidak  secara terus menerus. 
Contoh: 
1.         Hibah dalam bentuk uang  
Dalam tahun anggaran 2006, suatu instansi merencanakan untuk  mengalokasi dana sebesar Rp1.000.000.000 kepada organisasi Buana Lingkungan yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Pemberian dana tersebut bukan merupakan kewajiban pemerintah, tidak terus menerus dan  tidak mengikat. Rencana pengeluaran tersebut harus dialokasikan oleh pemerintah sebagai  Belanja Hibah, demikian juga realisasi pembayaran uang sebesar  Rp1.000.000.000 kepada organisasi Buana Lingkungan dibukukan dan disajikan pada LRA sebagai Belanja Hibah. 
2.         Hibah berbentuk barang/jasa  
Dalam tahun anggaran 2006, pemerintah merencanakan untuk memberikan hibah dalam bentuk 2 unit mobil kepada Palang Merah Indonesia (PMI). Pemerintah merencanakan membeli kedua mobil tersebut kemudian menyerahkannya ke PMI dan bukti kepemilikan mobil tersebut diserahkan ke PMI. Rencana pembelian kedua mobil harus dialokasikan di APBN/APBD  sebagai Belanja Hibah, demikian juga realisasi pembelian mobil tersebut dibukukan dan disajikan di LRA sebagai Belanja Hibah.  Jika 2 unit mobil yang diserahkan kepada PMI tersebut berasal dari pembelian tahun yang lalu dan telah disajikan di LRA Tahun Anggaran 2005 sebagai Belanja Modal dan di Neraca per 31 Desember 2005 sebagai Aset Tetap, maka perlakuan akuntansi terhadap hibah mobil tersebut di tahun 2006 adalah cukup dengan menghapuskan/mengurangi nilai 2 unit mobil tersebut dari neraca pemerintah. Rencana penyerahan (hibah) 2 unit mobil tersebut tidak dianggarkan di APBN/APBD tahun anggaran 2006, begitu juga dengan realisasinya tidak disajikan di LRA. 

6.)       Bantuan Sosial  
Bantuan Sosial adalah transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial dapat langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan termasuk di dalamnya bantuan untuk lembaga non pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan. Jadi Belanja Bantuan Sosial adalah pengeluaran pemerintah dalam bentuk uang/barang atau jasa kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang sifatnya tidak terus-menerus dan selektif.
Contoh:
1.         Pada tahun anggaran 2006, pemerintah merencanakan untuk memberikan bantuan sebesar Rp2.000.000.000 kepada para nelayan dengan maksud agar kehidupan nelayan tersebut lebih baik. Bantuan yang diberikan kepada nelayan dimaksudkan untuk tidak dikembalikan lagi kepada pemerintah. Rencana pemberian bantuan untuk nelayan sebesar Rp2.000.000.000 tersebut dianggarkan di APBN/APBD sebagai belanja bantuan sosial.  Demikian juga realisasi pembayaran dana tersebut kepada nelayan dibukukan dan disajikan sebagai Belanja Bantuan Sosial.
2.         Pada tahun anggaran 2006, pemerintah merencanakan untuk memberikan bantuan sebesar Rp10.000.000.000 kepada satu kelompok nelayan dengan maksud agar kehidupan nelayan tersebut lebih baik. Bantuan yang diberikan kepada nelayan diniatkan akan dipungut/ditarik kembali oleh pemerintah apabila kegiatannya telah berhasil dan selanjutnya akan digulirkan kembali kepada kelompok nelayan lainnya sebagai dana bergulir.
Rencana pemberian bantuan untuk nelayan di atas dicantumkan di APBN/APBD dan dikelompokkan pada Pengeluaran Pembiayaan yaitu pengeluaran investasi jangka panjang.
Terhadap realisasi penerimaan kembali pembiayaan juga dicatat dan disajikan sebagai Penerimaan Pembiayaan - Investasi Jangka Panjang. Dengan demikian, dana bergulir atau bantuan tersebut tidak dimasukkan sebagai Belanja Bantuan Sosial karena pemerintah mempunyai niat untuk menarik kembali dana dan menggulirkannya kembali kepada kelompok nelayan lainnya.
Pengeluaran dana tersebut mengakibatkan timbulnya investasi jangka panjang yang bersifat non permanen dan disajikan di neraca sebagai  investasi Jangka Panjang.  

7.)       Belanja Modal 
1.         Kriteria Belanja Modal  
Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset  tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Untuk mengetahui apakah suatu belanja dapat dimasukkan sebagai Belanja Modal atau tidak, maka perlu diketahui definisi aset tetap atau aset lainnya dan kriteria kapitalisasi aset tetap. Aset tetap mempunyai ciri-ciri/karakteristik sebagai berikut : berwujud, akan menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, nilainya relatif material. Sedangkan ciri-ciri/karakteristik Aset Lainnya adalah : tidak berwujud, akan menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, nilainya relatif material.  Dari ciri-ciri/karakterisitik tersebut di atas, diharapkan entitas dapat menetapkan kebijakan akuntansi mengenai batasan minimal nilai kapitalisasi suatu aset tetap atau aset lainnya (treshold capitalization), sehingga pejabat/aparat penyusun anggaran dan/atau penyusun laporan keuangan pemerintah mempunyai pedoman dalam penetapan belanja modal baik waktu penganggaran maupun pelaporan keuangan pemerintah.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu  belanja dapat dikategorikan sebagai Belanja Modal jika:  
(a)       pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya yang dengan demikian menambah aset pemerintah;  
(b)       pengeluaran tersebut melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah;  
(c)       perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual.  
Contoh : 
1.         Pemerintah menetapkan batasan nilai minimal kapitalisasi aset tetap untuk Peralatan dan Mesin dan Aset Tetap Lainnya adalah sebesar Rp300.000 per unit. Sementara untuk Gedung dan Bangunan; dan Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah sebesar Rp10.000.000. Pada tahun anggaran 2006, pemerintah merencanakan membeli 20 unit kalkulator dengan harga Rp250.000/unit. Total rencana anggaran untuk pembelian 20 unit kalkulator adalah Rp5.000.000. Dilihat dari jenis barangnya, kalkulator merupakan aset berwujud dan mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan. Namun, karena kalkulator tersebut harganya tidak material (nilai kalkulator per unit di bawah batasan minimal kapitalisasi yang telah ditetapkan yaitu Rp 300.000 per unit untuk  peralatan dan mesin), maka kalkulator tersebut tidak disajikan sebagai Aset Tetap di neraca. Oleh karena itu, meskipun secara total nilai perolehan 20 unit kalkulator adalah sebesar Rp5.000.000, anggaran pengeluaran untuk pembelian kalkulator di APBN/APBD tidak diklasifikasikan sebagai Belanja Modal tetapi sebagai Belanja Barang. Konsekuensinya, realisasi pembelian kalkulator dicatat dan disajikan pada LRA sebagai Belanja Barang.
2.         Dalam tahun anggaran 2006, pemerintah merencanakan membeli 3 unit mobil ambulans yang akan dihibahkan/diserahkan kepada Palang Merah Indonesia (PMI). Harga satuan mobil adalah sebesar Rp150.000.000, sehingga total pembelian adalah sebesar Rp450.000.000. Pengeluaran untuk pembelian 3 mobil ambulans tersebut meskipun tidak dimaksudkan untuk dijual, tetapi aset tersebut tidak akan menambah aset pemerintah karena diniatkan untuk diserahkan langsung kepada PMI. Oleh karena itu, anggaran pengeluaran untuk perolehan 3 mobil ambulans tidak dicantumkan sebagai Belanja Modal-Peralatan dan Mesin dalam  APBN/APBD, tetapi sebagai Belanja Hibah (Belanja Operasional). Demikian juga realisasi pengeluarannya dicatat dan disajikan di LRA sebagai Belanja Hibah.  

2.         Konsep Nilai Perolehan 
Konsep nilai perolehan sebenarnya tidak hanya berlaku pada aset tetap  saja, melainkan berlaku juga untuk barang persediaan. Belanja Modal meliputi antara lain: belanja modal untuk perolehan  tanah; gedung dan bangunan; peralatan dan mesin; jalan, irigasi dan jaringan, aset tetap lainnya dan aset lainnya.
Komponen Belanja Modal untuk perolehan aset tetap meliputi harga beli aset tetap ditambah semua biaya lain yang dikeluarkan sampai aset tetap tersebut siap untuk digunakan, misalnya biaya transportasi, biaya uji coba dan lain-lain. Demikian juga pengeluaran  untuk belanja perjalanan dan jasa yang terkait dengan perolehan aset tetap atau aset lainnya, termasuk di dalamnya biaya konsultan perencana, konsultan  pengawas dan pengembangan perangkat lunak (software), harus ditambahkan pada nilai perolehan.
Komponen-komponen tersebut harus dianggarkan dalam APBN/APBD sebagai Belanja Modal dan bukan sebagai Belanja Operasional. Tentu harus diperhatikan nilai kewajaran dan kepatutan  dari biaya-biaya lain di luar harga beli aset tetap tersebut. 
Contoh :
Departemen Kesehatan/Dinas Kesehatan merencanakan membeli peralatan kedokteran. Adapun komponen biaya untuk perolehan peralatan medis  tersebut adalah sebagai berikut: 
1. Harga beli alat medis     Rp 150.000.000
2. Perjalanan dinas            Rp     2.000.000
3. Transportasi alat medis Rp       5.000.000
4. Biaya uji coba                Rp       4.000.000 
Total biaya perolehan           Rp 179.000.000 
Harga perolehan peralatan medis tersebut adalah sebesar Rp179.000.000 yang berasal dari harga beli peralatan medis ditambah dengan semua biaya yang dikeluarkan sampai peralatan medis tersebut siap untuk digunakan. Rencana pengeluaran untuk perolehan peralatan medis (termasuk harga beli alat medis, perjalanan dinas, ongkos/transportasi alat medis dan biaya uji coba) dicantumkan dalam APBN/APBD sebagai Belanja Modal-Peralatan dan Mesin sebesar Rp179.000.000. Demikian juga realisasi untuk perolehan alat medis dicatat dan disajikan di LRA sebagai Belanja Modal-Peralatan dan Mesin sebesar Rp179.000.000.
Di samping belanja modal untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya,  belanja untuk pengeluaran-pengeluaran sesudah perolehan aset tetap atau  aset lainnya dapat juga dimasukkan sebagai Belanja Modal. Pengeluaran  tersebut dapat dikategorikan sebagai Belanja Modal jika memenuhi  persyaratan sebagai berikut: 
(a)       Pengeluaran tersebut mengakibatkan bertambahnya masa manfaat, kapasitas, kualitas dan volume aset yang telah dimiliki.  
(b)       Pengeluaran tersebut memenuhi batasan minimal nilai kapitalisasi aset  tetap/aset lainnya. 
Terkait dengan kriteria pertama di atas, perlu diketahui tentang pengertian  berikut ini:
(a)       Pertambahan masa manfaat adalah bertambahnya umur ekonomis yang diharapkan dari aset tetap yang sudah ada. Misalnya sebuah gedung semula diperkirakan mempunyai umur ekonomis 10 tahun. Pada tahun ke-7 pemerintah melakukan renovasi dengan harapan gedung tersebut masih dapat digunakan 8 tahun lagi. Dengan adanya renovasi tersebut maka umur gedung berubah dari 10 tahun menjadi 15 tahun.  
(b)       Peningkatan kapasitas adalah bertambahnya kapasitas atau kemampuan aset tetap yang sudah ada. Misalnya, sebuah generator listrik yang mempunyai output 200 KW dilakukan renovasi sehingga kapasitasnya meningkat menjadi 300 KW. 
(c)       Peningkatan kualitas aset adalah bertambahnya kualitas dari aset tetap  yang sudah ada. Misalnya, jalan yang masih berupa tanah ditingkatkan oleh  pemerintah menjadi jalan aspal.  
(d)       Pertambahan volume aset adalah bertambahnya jumlah atau satuan  ukuran aset yang sudah ada, misalnya penambahan luas bangunan suatu  gedung dari 400 m2 menjadi 500 m2
Contoh 1: 
Pemerintah merencanakan untuk menganggarkan di APBN/APBD pengeluaran untuk perbaikan kantor dengan memperbaiki atapnya yang sering bocor. Rencananya, atap kantor yang terbuat dari seng akan diganti dengan atap yang lebih baik, yaitu menggunakan genteng keramik dengan menelan biaya  Rp20.000.000. Sebelum dialokasikan anggaran untuk pengeluaran penggantian atap kantor perlu dilakukan analisis apakah pengeluaran tersebut dimasukkan sebagai Belanja Modal atau Belanja Operasional. Rencana pengeluaran untuk mengganti atap lama dengan atap baru dapat menambah kualitas atau manfaat dari bangunan. Berarti kriteria pertama terpenuhi yaitu pengeluaran tersebut mengakibatkan bertambahnya masa manfaat, kapasitas, kualitas dan volume aset yang dimiliki. Demikian juga  kriteria kedua, pengeluaran tersebut memenuhi nilai minimal kapitalisasi untuk  gedung dan bangunan yang ditetapkan sebesar Rp10.000.000 Karena memenuhi kriteria kapitalisasi aset tetap, pengeluaran tersebut harus  dianggarkan di APBN/APBD sebagai Belanja Modal-Gedung dan Bangunan sebesar Rp20.000.000. Konsekuensinya, realisasi pengeluaran belanja tersebut dicatat dan disajikan pada LRA sebagai Belanja Modal-Gedung dan  Bangunan.  

3.         Jaminan Pemeliharaan 
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang  Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 (Perubahan Keempat), pembayaran termin terakhir atas penyerahan pekerjaan yang sudah jadi dari Pihak Ketiga, dapat dilakukan melalui dua (2) cara yaitu: 
1.)       Pembayaran dilakukan sebesar 95 % (sembilan puluh lima persen) dari nilai kontrak, sedangkan yang 5 % (lima persen) merupakan  retensi selama masa pemeliharaan. 
2.)       Pembayaran dilakukan sebesar 100 % (seratus persen) dari nilai  kontrak dan penyedia barang/jasa harus menyerahkan jaminan bank  sebesar 5 % (lima persen) dari nilai kontrak yang diterbitkan oleh Bank Umum atau oleh perusahaan asuransi yang mempunyai program asuransi kerugian (surety bond) dan direasuransikan sesuai dengan ketentuan Menteri Keuangan. Penahanan pembayaran senilai 5 (lima) persen dari nilai kontrak seperti dimaksud dalam nomor 1 harus diakui sebagai utang retensi, sedangkan jaminan bank untuk pemeliharaan harus diungkapkan dalam Catatan atas  Laporan Keuangan.  

8.)       Belanja Lain-lain/Tak Terduga  
Menurut Paragraf 35 PSAP Nomor 02, istilah “Belanja Lain-lain digunakan  oleh pemerintah pusat, sedangkan istilah “Belanja Tak Terduga” digunakan oleh pemerintahan daerah. Belanja lain-lain/tak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun  2004, anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya mendesak dan/atau tidak terduga, disediakan dalam bagian anggaran tersendiri, yang selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah. Pada pemerintah pusat, anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya mendesak dan/atau tidak terduga dikelola pada BA tersendiri yaitu BA 069 (Belanja Lain-lain).
Menurut Pasal 48 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, Belanja Tak Terduga adalah belanja untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak  diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup.   
Contoh:  
Pada tahun anggaran 2006 Pemda XYZ merencanakan untuk mengalokasikan dana sebesar Rp20.000.000 untuk penanggulangan bencana alam khususnya banjir. Rencana pengeluaran sebesar Rp20.000.000 pada tahun 2006 tersebut dicantumkan di APBD Pemda XYZ sebagai Belanja Tak Terduga. Demikian juga realisasi belanja tersebut dicatat dan disajikan pada LRA sebagai Belanja Tak Terduga. Jika dari hasil pengeluaran belanja tak terduga diperoleh aset tetap, maka aset tetap tersebut dicatat dan disajikan di neraca Pemda XYZ.  

9.)       Transfer  
Menurut PSAP Nomor 02, pengeluaran ini disajikan pada kelompok  pengeluaran belanja (above the line), tetapi pengeluaran transfer adalah bukan termasuk pengeluaran belanja (expenditures). Definisi transfer adalah  penerimaan/pengeluaran uang dari suatu entitas pelaporan dari/kepada entitas pelaporan lain, termasuk dana perimbangan. Pada Paragraf 40 PSAP Nomor 02, definisi dari transfer keluar adalah:  “... pengeluaran uang dari entitas pelaporan ke entitas pelaporan lain seperti pengeluaran dana perimbangan oleh pemerintah pusat dan dana bagi hasil oleh pemerintah daerah.” 
Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang  Dana Perimbangan, ditetapkan bahwa pemerintah pusat wajib mengalokasikan dana perimbangan kepada pemerintah daerah, sekurang-kurangnya 25,50% dari penerimaan pendapatan dalam negeri. Pelaksanaan dari ketentuan perundangan-undangan tentang dana perimbangan, menimbulkan kewajiban pemerintah pusat untuk melakukan transfer dana ke pemerintah daerah. Karena sifat transfer tersebut bukan merupakan beban belanja bagi pemerintah pusat, maka dicatat sebagai transfer keluar (transfer out) dan bagi pemerintah daerah yang menerima disebut transfer masuk (transfer in). Selanjutnya, transfer masuk dari pemerintah pusat tersebut merupakan kewenangan pemerintah daerah untuk menetapkan penggunaan dana tersebut, yang pada akhirnya akan menjadi beban belanja bagi pemerintah daerah. Kemungkinan terjadi bahwa sebagian dari transfer masuk yang diterima pemerintah provinsi/kabupaten/kota, dari pemerintah pusat tersebut, ditransfer lagi kepada daerah bawahan (kecamatan dan desa) sebagai dana bantuan dan dicatat sebagai transfer keluar dan akan dipertanggungjawabkan oleh daerah bawahan penerima transfer tersebut./7wg

 

BAB III
PENUTUP

A.        KESIMPULAN
Belanja daerah adalah semua pengeluaran pemerintah daerah pada satu periode anggaran yang berupa arus aktiva keluar guna melaksanakan kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah pusat.
Klasifikasi belanja daerah terdiri dari 6 , yaitu
a.         Klasifikasi Menurut Ketentuan Undang-Undang di Bidang Keuangan  Negara
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (2) Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa  rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga (di tingkat pemerintah  pusat) dan rencana kerja dan anggaran SKPD (di tingkat pemerintah daerah) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
Menurut Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 20 ayat (5)  Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, ditetapkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR/DPRD) terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja.  

b.         Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Menurut Paragraf 34 PSAP Nomor 02, ditetapkan bahwa belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi dan fungsi. Rincian tersebut merupakan persyaratan minimal yang harus disajikan oleh entitas  pelaporan. Selanjutnya dicontohkan pada Paragraf 39 PSAP 02 klasifikasi belanja menurut ekonomi (jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi Belanja Operasi, Belanja Modal dan Belanja Lain-lain/Tak Terduga.

c.         Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menetapkan  klasifikasi belanja sebagai berikut: 
1.    Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan serta jenis belanja;
2.    Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah
3.    Klasifikasi menurut fungsi terdiri dari :
(a)       klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan untuk tujuan manajerial pemerintahan daerah;
(b)       klasifikasi berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan dalam rangka pengelolaan keuangan negara. 

d.         Klasifikasi Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006  tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Klasifikasi belanja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor  58 Tahun 2005 tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri  Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu :
1.         Klasifikasi belanja dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang  menjadi kewenangan provinsi dan/atau kabupaten/kota yang terdiri dari belanja  urusan wajib dan belanja urusan pilihan. 
2.         Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan  keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang mengacu pada Peraturan  Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.  Menurut klasifikasi ini, belanja terdiri atas: pelayanan umum, ketertiban dan  ketentraman, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum kesehatan, pariwisata dan budaya, pendidikan dan perlindungan sosial. Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Permendagri  Nomor 13 Tahun 2006 tidak memasukkan fungsi “pertahanan” dan “agama”  karena kedua fungsi tersebut adalah urusan pemerintahan yang dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan tidak didesentralisasikan. 
3.         Klasifikasi menurut kelompok belanja terdiri dari belanja langsung dan belanja tak langsung. Pengklasifikasian belanja ini berdasarkan kriteria apakah suatu  belanja mempunyai kaitan langsung dengan program/kegiatan atau tidak.  Belanja yang berkaitan langsung dengan program/kegiatan (misalnya belanja honorarium, belanja barang, belanja modal) diklasifikasikan sebagai belanja Buletin Teknis Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah langsung, sedangkan belanja yang tidak secara langsung dengan program/kegiatan (misalnya gaji dan tunjangan pegawai bulanan, belanja bunga, donasi, belanja bantuan keuangan, belanja hibah, dan sebagainya)  diklasifikasikan sebagai belanja tidak langsung. 

e.         Klasifikasi Belanja Menurut Fungsi
Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan sebagai dasar untuk penyusunan anggaran berbasis kinerja. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dalam menggunakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, program dan kegiatan kementerian negara/lembaga/SKPD harus diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah ditetapkan sesuai dengan rencana kerja pemerintah. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan program dan kegiatan. Dengan demikian, antara kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan harus  merupakan suatu rangkaian yang mencerminkan adanya keutuhan konseptual.


f.          Klasifikasi Menurut Jenis Belanja
1.         Belanja Negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)  
Sebagaimana diamanatkan Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17  Tahun 2003, belanja negara dalam APBN digunakan untuk keperluan  penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan  keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Jadi, dalam hal ini  terdapat 2 (dua) jenis pengeluaran pemerintah, yaitu belanja pemerintah dan  pengeluaran transfer.
Pengeluaran dalam bentuk belanja untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan tersebut menurut ketentuan peraturan perundangan-undangan diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi dan jenis  belanja. Khusus untuk keperluan pengendalian manajemen, klasifikasi yang  mudah untuk dilakukan pengendalian sejak perencanaan penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya adalah klasifikasi menurut ekonomi atau jenis belanja, yaitu :
(a)       Belanja Operasi : terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, bunga,  subsidi, hibah dan bantuan sosial. 
(b)       Belanja Modal : terdiri dari belanja tanah, belanja peralatan dan mesin,  belanja gedung dan bangunan, belanja jalan, irigasi dan jaringan dan  belanja aset tetap lainnya. 
(c)       Belanja Lain-lain/Tidak Terduga  
(d)       Transfer 
Dalam menyusun LRA, sebagaimana diatur dalam PSAP Nomor 02,  klasifikasi yang dicantumkan pada lembar muka laporan keuangan adalah menurut jenis belanja. 
2.         Belanja Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 
Untuk pemerintahan daerah, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58  Tahun 2005 yang kemudian dijabarkan dalam Permendagri 13 Tahun 2006,  belanja diklasifikasikan berdasarkan jenis belanja sebagai belanja tidak langsung  dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang  dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan  kegiatan. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait  secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Selanjutnya, kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja  yang terdiri dari : 
(a)       belanja pegawai;  
(b)       belanja bunga;  
(c)       belanja subsidi;  
(d)       belanja hibah;  
(e)       belanja bantuan sosial;  
(f)        belanja bagi basil;  
(g)       bantuan keuangan; dan  
(h)       belanja tidak terduga.  
Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari :  
(a)       Belanja pegawai;  
(b)       Belanja barang dan jasa;
(c)       Belanja modal



DAFTAR PUSTAKA

http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=12&cad=rja&ved=0CDEQFjABOAo&url=http%3A%2F%2Frepository.unhas.ac.id%2Fbitstream%2Fhandle%2F123456789%2F1938%2FBab%2520I-V.docx%3Fsequence%3D1&ei=za98UfKnEsWs4AOyhIHABw&usg=AFQjCNFuH1VofU3iZBjIfWTlbJ882HmGHg&sig2=0eiQfOlFrYV22Ji_zOqV-Q&bvm=bv.45645796,d.dmg
http://wilytjeme.blogspot.com/2012/10/klasifikasi-belanja-daerah_2774.html./7wg